Dalam perjalanan ke Pulau Lombok, aku mengunjungi sebuah Desa yang menjadi tempat tinggal Suku asli Pulau Lombok. Suku Sasak memilih untuk mengabaikan segala hiruk pikuk modernisasi dan tetap memegang teguh adat dan budaya dari leluhur mereka hingga detik ini. Tak jauh dari Bandara Internasional Lombok (BIL), tepatnya di Desa Rambitan, Lombok Tengah, kita akan menemukan sebuah pemandangan yang teramat kontras dengan pemandangan di sekitarnya.
Jalanan yang mulus dan persawahan yang hijau membentang membuat dua jam perjalanan menuju lokasi Desa Sade tak terasa melelahkan sedikitpun. Kehidupan Suku Sasak memang telah banyak diketahui dan dikagumi oleh para wisatawan asing dan domestik. Hal ini terbukti dengan meningkatnya kunjungan wisatawan setiap tahunnya. Pemerintah setempat pun mengambil peran aktif dengan menjadikan Desa ini sebagai salah satu destinasi wisata di Pulau Lombok.
Setiap tamu yang datang akan didampingi oleh seorang tour guide yang merupakan penduduk asli Suku Sasak Sade. Menurut penuturan pemandu kami, setiap mereka akan bergilir melakukan tugas ini. Hasil yang didapatkan akan dibagi secara merata dan dipergunakan untuk memperbaiki dan membangun Desa mereka agar kian layak dihuni. Setelah mengisi buku tamu dan membayar iuran seikhlasnya untuk perbaikan Desa, sang pemandu membawa kami memasuki Desa Sade tempat bermukim Suku Sasak. Menurut keterangan dari pemandu kami, Desa Sade memiliki luas sekitar 6 ha dengan jumlah populasi 152 kepala keluarga. Semua penghuni Desa masih merupakan kerabat karena mereka menikah dengan sesama Suku Sasak. Selain untuk mempertahankan garis keturunan Suku Sasak, pernikahan sesama suku ini dirasa lebih menghemat biaya. “Untuk melamar perempuan dari Suku lain biayanya mahal sekali, kami tak mampu,” sang pemandu menjelaskan.
Menurut adat yang berlaku, calon mempelai laki-laki diharuskan melarikan sang calon mempelai perepuan. Dalam adat setempat perilaku ini lebih diterima ketimbang melamar langsung kepada ayah calon istri. Melamar anak gadis langsung kepada orangtuanya dianggap seperti membeli anak mereka. Mereka tersinggung bila sang calon mempelai melamar baik-baik karena merasa anak gadisnya bak barang yang dapat diperjualbelikan. Para ayah lebih memilih anak mereka diambil dengan cara kawin lari, tapi tetap membayar mahar meskipun sederhana. Sebuah adat dan pemikiran yang unik ya. 😉
Segera setelah melewati gapura Desa, sebuah lingkungan yang rapi dan sibuk mulai terlihat. Beberapa kerajinan khas Lombok karya para perempuan Sasak tersusun rapi menunggu uluran tangan para pembeli. Jejeran kalung, gelang, hiasan dinding, dan kain tenun mempercantik Desa Sade secara keseluruhan. Berbagai motif kain tenun khas Lombok dengan warna yang cerah, sangat menarik perhatianku. Hraga kainnya cukup mahal karena memang pengerjaannya yang sangat rumit. Proses pembuatannya masih sangat sederhana dan alami. Dari mulai benang, pewarnaan, dan proses penenunan dilakukan dengan tangan manusia. Sungguh sebuah karya seni yang luar biasa nilainya. Ketika para perempuan Sasak sibuk dengan karya seninya, para pria bekerja di ladang sebagai petani.
Rumah Suku Sasak di bangun berbaris dan berdekatan satu dengan lainnya. Rumah berukuran sekitar 7×5 meter ini di bangun sepenuhnya dengan campuran tanah liat dan sekam, sedangkan atapnya terbuat dari alang-alang. Memasuki rumah adat Suku Sasak harus sedikit membungkuk karena pintu masuknya yang rendah. Pada bagian bawah hanya terdapat satu ruangan yang merupakan ruang untuk menerima tamu sekaligus sebagai kamar tidur pria. Untuk menuju ke bagian atas rumah, kita harus menaiki tiga anak tangga. Ternyata tingga anak tangga ini memiliki arti tersendiri dalam kepercayaan Suku Sasak. Menurut keterangan dari pemandu kami, tiga anak tangga dalam rumah adat diibaratkan sebagai tiga fase kehidupan manusia, lahir, berkembang, dan mati. Pada bagian atas rumah terdiri dari dua ruangan, dapur dan kamar bagi perempuan yang sekaligus berfungsi sebagai ruang melahirkan. Rupanya setiap rumah adat Sasak diharuskan memiliki ruangan bersalin agar sang ibu tak kesulitan saat melahirkan.
Satu kebiasaan yang masih dijalankan Suku Sasak hingga hari ini adalah membersihkan seluruh ruangan rumah dengan kotoran kerbau. Sayang sekali pagi itu kami tidak melihat ada keluarga yang sedang melakukan proses pembersihan rumah dengan cara ini. Terus terang aku sendiri penasaran sekali, bagaimana mungkin kotoran kerbau yang tak dicampur bahan apapun selain sedikit air dapat membersihkan ruangan. Bagaimana dengan bau dan kuman-kuman yang mungkin menempel pada kotoran kerbau itu? Nah pertanyaan inilah yang nggak akan bisa terjawab. Mengubah kebiasaan ini pun sepertinya sulit ya, karena memang sudah menjadi kepercayaan turun-temurun.
Selain rumah para penduduk, Desa Sade dilengkapi juga dengan lumbung padi atau biasa disebut dengan Beruga. Bangunan inilah yang menjadi ciri khas Suku Sasak dengan atap yang berbentuk topi dan terbuat dari alang-alang dan didirikan di atas empat tumpukan kayu. Saat musim panen tiba, padi dimasukkan melalui jendela terbuka yang ada di bagian atap. Bagian bawah bangunan berdiri di atas enam pilar dengan atapnya juga terbuat dari alang-alang dan tanpa dinding sedikitpun. Alang-alang dipilih sebagai bahan pembuat atap karena dapat meredam cuaca panas di siang hari dan menghangatkan suhu ruangan di malam hari. Beruga inilah yang kini menjadi salah satu icon khas Pulau Lombok.
Desa Sade juga dilengkapi dengan sebuah Masjid yang cukup besar. Dahulu penduduk Suku Sasak menganut kepercayaan “Wetu Telu” atau tiga waktu, dimana shalat hanya dilakukan tiga kali dalam sehari. Seiring dengan pemahaman mereka terhadap ajaran Islam, kepercayaan ini perlahan mulai ditinggalkan. Sebagian besar dari mereka telah melaksanakan shalat lima waktu.
Setelah mengelilingi Desa Sade sembari menambah pengetahuan mengenai kehidupan Suku Sasak tour singkat kami pun berakhir di pintu masuk Desa. Wajah-wajah bahagia dan penuh dengan keramahan menghapuskan kecurigaanku tentang komersialisasi kehidupan mereka. Keberadaan wisata Suku Sasak ini sepertinya dapat diterima oleh seluruh warga dan terbukti membantu kehidupan mereka. Semoga kesederhanaan dan keramahan mereka tetap terjaga meskipun gemerlap globalisasi dan modernisasi hanya berjarak sejengkal dari tanah leluhur mereka.
No comments:
Post a Comment