Ibu ibarat mesin yang tenaganya mampu menghangatkan seisi rumah. Semenjak pagi hingga malam kehangatannya menyebar ke seluruh penjuru rumah, tak terkecuali anggota keluarga. Tanpa ibu rumah pun hampa tak bernyawa. Sayangnya tak banyak waktu kita berikan untuk membuat ibu tersenyum.
Desember. Penghujung tahun, bertaburan tanggal merah. Tahun ajaran usai, liburan dimulai. Sayangnya sedikit berbeda dengan kalender akademik kampus. Dengan banyaknya tanggal merah aku justru harus cari jadwal ekstra supaya target materi semester ini tersampaikan semua. Sayang yang kedua kondisi kesehatan sungguh nggak bersahabat.
Hujan hampir setiap hari di Semarang. Dimulai dini hari dan kadang baru selesai di sore hari. Sungguh udaranya bikin males dan pengen kemulan sepanjang hari. Sebetulnya aku selalu suka musim hujan dengan aroma khasnya, Cuma efek dari musim hujan adalah sinusitisku kambuh. Sudah 2 minggu hidung nggak mampu mencium apapun saking bumpetnya dan puncaknya adalah kepala yang sakit luar biasa. Naudzubila sakitnya.
Selasa itu jadwal mengajar padat tapi badan sungguh nggak bisa diajak kompromi. Sedari pagi berasa meriang. Berusaha melawan sekuat tenaga sampai akhirnya tumbang 34sekitar jam 13.00 dan memutuskan untuk pulang dan tidur. Hari berikutnya pun sama, tapi untungnya kelas Rabu sudah selesai semua, jadi bisa istirahat di rumah. Seharian cuma tiduran sambil megangin kepala yang rasanya mau copot.
Tapi siang itu abang tetiba pulang. Sengaja meninggalkan segala urusan pekerjaan untuk bisa makan siang bersama kami berdua. Menu sederhana, kebersamaan yang menyenangkan. Meskipun nggak ada selera makan, tetep menemani 2 orang tercinta setelah menenggak ponstan entah untuk yang keberapa kalinya. Sinusitis memang belum ada obatnya kecuali pereda sakit. 🙁
“Tumben hari ini nggak hujan ya. Gimana kalo sore ini kita ngopi di Umbul Sidomukti? Kayanya asyik ngopi sambil liat pemandangan sore, apalagi Nadia belum kemana-mana liburan ini,” tawaran abang langsung membuat sekitar 50% pusingku lenyap.
Entah kenapa badan yang masih nggak karuan ini langsung menerima ajakan jalan itu. mungkin sistem di badanku ini belum punya kata “tidak” untuk ajakan jalan-jalan. Ajaibnya justru kata jalan-jalan itu langsung membuat badan lebih baik dan hati lebih sumringah hahahaha. Oke … let me put my sweater on and lets get some fresh mountain air.
Kolaborasi udara gunung yang sejuk dan semangat untuk jalan-jalan seketika berhasil mengusir meriang dan ponstan sudah mulai bekerja dengan baik. No more headache. Kami memutuskan untuk mampir ke Umbul Sidomukti dulu, menikmati rawa pening dari kejauhan. Terakhir kali kemari, Umbul Sidomukti jadi lautan manusia, jadi kami nggak dapet foto yang bagus. Pengunjung sore itu nggak seramai saat weekend, tapi mungkin karena liburan sekolah sudah mulai. Jadi ada beberapa rombongan keluarga disini. Terima nasib lah, susah juga kalo mau nunggu sepi.
Memang bener kalo udara segar dan pemandangan yang cantik membuat kita melupakan semua beban hidup sejenak. Termasuk juga beban sinusitisku. Langit yang sedikit berawan menjadi kawan menikmati lukisan Ilahi. Kolam renang berisi air gunung yang terletak di salah satu sudut gunung Ungaran ini tampak mempesona. Simple yet gracefull.
Sesekali terdengar tawa dan jeritan anak-anak yang kedinginan di dalam kolam. Jadi pengen menemani Nadia berenang. Seandainya saja badan sehat. Memang sehat itu segalanya ya sahabats. Untungnya Nadia masih tetap enjoy meskipun hanya bisa mencelupkan jari-jari kecilnya ke dalam kolam, sambil terus menegaskan kalau lain waktu kami akan kembali kesini lagi dan berenang di kolam yang dinginnya bikin haru biru. Bbbrrrrr………
Hampir 1 jam kami menikmati si cantik Umbul Sidomukti. Mengabadikan lukisan Allah dan berbagai angle. Dan perjalananpun berlanjut. Secangkir kopi sudah menanti di atas sana.
Umbul Sidomukti memang punya beberapa spot yang berdekatan. Bisa didatangi dalam satu kali kunjungan. Hanya beberapa meter dari kolam Umbul Sidomukti ini, ada vila-vila yang memang disewakan. Sayangnya aku nggak sempet nanyain tarifnya. Yang pasti liburan akhir tahun membuat tarifnya jadi melambung tinggi lah. Kalau kalian pengen menyepi dan menikmati pemandangan Rawa Pening dan kota Semarang dari atas, coba saja datang di ]weekend atau malah weekdays, jadi tarifnya lebih bersahabat. 😉
Setelah memilih meja dibagian luar cafe, kamipun duduk. “Masih meriang nggak?” tanya abang padaku. Makin sore udara memang semakin dingin. Tapi pemandangan seindah ini semestinya tidak boleh terlewat begitu saja bukan? Secangkir kopi pasti bisa mengusir hawa dingin. Apalagi ada 2 partner setia. Rasanya aku nggak butuh apa-apa lagi sekarang. Alam yang cantik, secangkir kopi panas, dan senyum 2 orang tercinta. “Maka nikmat TuhanMu yang manakah yang kamu dustakan?”
Konsep Pondok Kopi ini sebenernya cukup sederhana tapi hangat. Sepasang meja dan kursi kayu siap menemani siap menghangatkan semua pengunjung. Ada tawa dan senyum terselip dalam setiap percincangan. Hangatnya mengusir dingin angin gunung yang sesekali menyapa.
Dan semburat langit senja …. seandainya saja langit sore itu tak kelabu……
Pasti akan jadi sore yang sempurna ….
Tapi kebahagiaanku sore itu sempurna.
Pemandangan yang indah. Secangkir kopi panas yang harum.
Si cantik dengan tawa renyah yang menular.
Suami yang selalu tahu apa keinginan istrinya … suami yang tak banyak kata tapi punya banyak cinta.
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Ahmad)
“Sebaik-baik kalian, adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya, dan Aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmizi)
No comments:
Post a Comment