Assalamualaikum Sahabats ….
Di era milenial sekarang ini rasanya hampir nggak percaya ya kalau pernikahan usia anak masih marak terjadi? Ternyata faktanya di ASEAN, Indonesia menduduki peringkat kedua dan peringkat 7 tertinggi dengan kasus pernikahan usia anak di dunia. Di Jawa tengah sendiri kota Banyumas dan Semarang jadi penyumbang tertinggi kasus pernikahan usia anak. Miris dan sedih banget ya rasanya Sahabats.
Kita jelas nggak bisa menganggap isu ini sebagai isu remeh alias nggak penting karena pada kenyataannya isu pernikahan usia dini adalah isu global yang masih menjadi PR besar bagi banyak negara termasuk Indoensia. Terus sebagai seorang ibu dan seorang warga negara apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah terulangnya pernikahan usia anak?
Kamis, 5 Desember 2019 bertempat di Hotel MG Setos Semarang, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) bersama dengan Jateng Pos menyelenggarakan dialog pbulik bertemakan, Pencegahan Perkawinan Usia Anak. Acara ini diadakan dengan mengundang blogger, penggiat media, mahasiswa , serta beberapa kalangan lainnya. Acara ini diharapkan membuka mata dan memperluas wawasan kita semua agar lebih peduli dan segera bergerak aktif untuk mengurangi jumlah pernikahan usia anak.
Definisi Pernikahan Usia Anak
Sesuai dengan amanat UU bahwa yang dikategorikan sebagai anak adalah usia 0 – 18, jadi bisa didefinisikan bahwa pernikahan anak adalah pernikahan yang terjadi pada anak di bawah usia 18 tahun yang secara fisik dan psikis belum memiliki kesiapan mental untuk membangun sebuah keluarga.
Pemerintah dalam revisi UU no 16 tahun 2019 telah mengatur batasan minimal usia pernikahan adalah 19 tahun untuk kedua mempelai. Hal ini dilakukan pemerintah untuk menekan kasus pernikahan usia anak, tapi sayangnya praktik ini belum juga berkurang. Faktanya ada 79 juta anak di bawah 18 tahun di Indonesia dan bayangkan apabila kasus pernikahan anak ini masih marak terjadi? Bakalan banyak permasalahan serius lain yang akan terjadi akibat dari pernikahan usia anak.
Faktor Pendorong Terjadinya Pernikahan Usia Anak
- Ketidaksetaraan Gender
Sedih ya Sahabats bahwa faktanya di zaman milenial ini masih banyak terjadi ketidaksetaraan gender. Akibat budaya patrairki yang masih mengakar kuat di masyarakat, sebagian orangtua masih beranggapan bahwa anak perempuan nggak perlu lah sekolah tinggi toh akhirnya mereka akan mengasuh anak, dan kerja di dapur juga. Padahal amanat UU sudah sangat jelas bahwa salah satu hak anak adalah mendapatkan pendidikan (minimal pendidikan dasar selama 12 tahun) tanpa pandang gender.
Apalagi dalam sebuah hadits shahih disebutkan ibu adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Lha kalau bu gurunya nggak punya ilmu, mau jadi apa anak-anaknya kelak?
2. Adat dan Budaya
Prof Ismi Dwi Astuti, pakar Gender Universitas Sebelas Maret (USM) Solo memaparkan di beberapa daerah di Indonesia terutama di pedesaan masih banyak kepercayaan dan adat yang melegalkan terjadinya pernikahan usia anak, dimana anak perempuan cenderung dijadikan jaring pengaman ekonomi keluarga. Anak perempuan dinikahkan secara paksa dengan beberapa alasan seperti mengurangi beban orangtua, untuk membantu perekonomian keluarga, bahkan untuk mengamankan aset keluarga. Anak perempuan sengaja “ditawarkan” kepada pihak keluarga lelaki karena dianggap properti milik oranguanya dan tidak punya otoritas apapun terhadap tubuhnya.
Dalam hal ini orangtua lah yang paling bersalah bahkan menjadi pelaku utama terjadinya pernikahan usia anak. Padahal jelas ya salah satu hak anak adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan dari orangtuanya. Sedih banget ya Sahabats 🙁
3. Stigma di Masyarakat
Stigma perawan tua juga ternyata masih jadi penyumbang kasus pernikahan usia anak. Takutnya anaknya nggak laku atau malu dengan tetangga menyebabkan orangtua bersegera menikahkan anaknya yang masih di bawah umur. Jika anak-anak yang belum siap fisik dan psikis ini dipaksa menikah maka jangan heran kalau keluarga yang akan mereka bangun kelak akan lemah dan susah untuk keluar dari jerat lingkaran kemiskinan.
4. Minim Pemahaman Terhadap Kesehatan Reproduksi
Penelitian menunjukkan tingkat pendidikan yang rendah berbanding lurus dengan tingkat pemahaman terhadap kesehatan reproduksi. dr. Setya Dipayana, Sp.A menjelaskan bahwa anak di bawah 18 tahun secara anatomis organ reproduksinya belum siap sehingga rawan terjadinya permasalahn saat mengandung janin. Beberapa masalah yang akan timbul seperti obstructed labour (pinggul yang sempit sehingga rawan pendarahan bahkan bayi meninggal saat dilahirkan), penyakit kehamilan, kanker ovarium, dan penyakit reproduksi lainnya, hingga kematian. Jadi jangan heran kalau tingkat kematian ibu dan bayi masih tinggi di Indonesia, salah satu penyumbang terbesar adalah karena adanya pernikahan usia anak ini.
“Itu baru masalah yang timbul saat kehamilan, bayangkan saat anak kecil harus merawat anak kecil,” tambah dr. Setya. Kondisi psikis ibu yang belum siap dan belum paham cara mengurus anak akan memperburuk situasi. Akibatnya anak akan rentan mengalami kurang gizi dan gangguan tumbuh kembang lainnya.
5. Unwanted Pregnancy
Faktor terakhir adalah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan akibat adalah pergaulan bebas. Di perkotaan faktor inilah yang jadi penyebab terjadinya pernikahan usia anak.
Yuk Bergerak! Cegah Pernikahan Usia Anak
Isu pernikahan usia anak ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, tapi kita sebagai warga negara juga harus terus bergerak, memberi pemahaman padaa masyarakat akan dampak negatif yang akan timbul akibat adanya pernikahan usia anak. Kuncinya menurut Prof. Ismi adalah memberdayakan perempuan dengan pendidikan dan informasi. Pernikahan usia anak bukanlah sebuah budaya yang patut dipertahankan mengingat dampak negatifnya yang banyak.
Perempuan yang melek informasi dan berpendidikan, serta punya keterampilan akan punya kekuatan dan kemandirian. Orangtua juga harus terus dipahamkan mengenai betapa penting memberikan hak anak terhadap pendidikan dan terus menyemangati anak-anak untuk semangat menggapai masa depan dan impian mereka. Selain itu pemerintah juga mendorong program baru berupa pemberian modal usaha bagi orangtua agar dapat meningkatkan perekonomian keluarga.
Diskusi dan penyuluhan juga harus selalu giat digalakkan terutama di sekolah-sekolah dan universitas supaya makin banyak orang paham akan bahaya pernikahan usia anak. Kita juga sebagai orangtua punya PR besar memberikan pendidikan baik formal maupun penguatan pendidikan agama dan akhlaq agar anak-anak kita nggak terjerumus dalam pergaulan bebas. Naudzubilahimindzalik.
Yuk semuanya bergerak supaya kasus pernikahan usia anak tidak terjadi lagi di masa depan ya Sahabatas. Semoga artikel ini bisa sedikit memberikan pemahaman dan menyadarkan bahwa masa depan Indonesia ada di tangan kita semua.
Seru banget ya kak acaranya, next time kalau ada event ini sepertinya sayang untuk dilewatkan